Makalah tentang Geundrang Aceh

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Setiap wilayah di Indonesia memiliki kebudayaan yang beragam, melambangkan kekayaan budaya daerah setempat. Dari budaya tersebut maka terciptalah ragam kebiasaan masyarakat, diantaranya bahasa Daerah, tari-tarian, musik, dan upacara adat. Aceh merupakan salah satu wilayah yang memiliki beragam adat, tradisi, dan kesenian. Beberapa jenis kesenian yang berkembang serta menjadi cirri khas di Aceh adalah keberadaan alat musik tradisional Aceh seperti Rapa-i, Geundrang, Serune Kalee, Saluang Aceh, Canang, Bansi, Biola Aceh, Arbab dan Teganing.
Geundrang merupakan salah satu jenis alat musik traditional yang dimiliki oleh masyarakat Aceh dengan sumber bunyi yang berasal dari kulit hewan, yang dimainkan dengan cara ditabuh memakai telapak tangan pada satu sisi dan ditabuh dengan menggunakan stik penabuh (gagang geundrang) pada sisi yang lain.
Berdasarkan fakta dilapangan saat ini alat musik Geundrang masih sering digunakan dalam pertunjukan-pertunjukan atau acara tradisi dalam konteks masyarakat Aceh. Dari tanda-tanda dan petunjuk tersebut dapat disimpulkan bahwa sekarang ini alat musik Geundrang masih tetap bertahan hidup di dalam masyarakat Aceh.
Disamping itu, sangat disayangkan tidak banyak orang memahami seluk-beluk aktivitas dalam pembuatan Geundrang Aceh, serta belum ada pendokumentasian proses pembuatan Geundrang Aceh dalam bentuk tulisan yang komplit. Maka itu perlu dilakukan penelitian sebagai upaya pelestarian alat musik tersebut. Fakta  kuat yang membuat semakin terancamnya eksistensi alat musik tradisional Geundrang Aceh adalah jumlah pengrajin yang tersisa hanya tinggal beberapa orang dan rata-rata sudah berumur 50 tahun ke atas.
Kualitas hasil produksi Geundrang berbeda-beda. Hal ini disebabkan metode atau teknik pembuatan Geundrang yang masih sangat sederhana,bahan baku yang tidak bagus dan menggunakan alat-alat yang seadanya. Salah satu pengrajin yang dianggap hasil produksi Geundrang yang kualitasnya cukup bagus yaitu di Desa Kayee Lheu, Perumahan Kuwait No. 44, Kelurahan Ingin Jaya, Banda Aceh. Dengan produksi Geundrang berkualitas bagus dan memenuhi standar, pengrajin tersebut dipilih sebagai sumber data utama, selain lokasinya yang relatif mudah untuk dijangkau dan didatangi oleh penulis.
Geundrang merupakan alat musik membranofon, karena menggunakan kulit hewan pada dua sisi lubang kayu. Cara memainkannya ialah memukul dua sisi kulit tersebut dengan tangan dan gagang stik yang terbuat dari kayu. Geundrang tidak mempunyai tangga nada, dan warna suaranya tergantung dari kencangnya tarikan kulit. Bisa dimainkan dengan posisi duduk bersila atau berdiri/berjalan mengikuti pawai, dengan disandang pada bahu melalui strap (tali). Biasanya (right-handed), genderang dipukul dengan menggunakan stik pada tangan kanan, dan tangan kiri tanpa stik (tangan kosong).
                           
            Dalam sebuah ensemble Serune Kalee terdapat dua buah Geundrang, sebuah Rapai dan sebuah lagi Geundrang kecil (Geundrang anak) sebagai pembawa tempo atau ritmik dengan gaya interlocking figuration untuk tingkahan-tingkahan. Stick dipukul dengan mempergunakan ujungnya yang bengkok sehingga mengeluarkan nada tajam singkat (attacks atau accent), dan dapat juga dengan samping atau pinggiran stick bagian atas yang mengeluarkan suara sedang seperti di-depth. Selain itu bisa pakai damper, kemudian tangan kanan mengadakan tingkahan-tingkahan ataupun friction (geser-geseran).
Baguettes (stick) dapat menghasilkan suara pukulan singkat dan tajam (clear beat) atau pukulan nyaring serta suara dinamik keras (ff), terutama karena luas lingkaran sebelah kanan lebih kecil daripada sebelah kiri. Sedangkan sebelah kiri yang dipukul dengan tangan kosong, dapat menghasilkan suara low (bass). Suara gemerincing bisa didapat dengan bantuan pukulan Rapai yang pada frame-nya terdapat lempengan logam (giring-giring) yang memberikan suara gemerincing (suara phring) atau crisp. Berdasarkan permasalahan diatas, penulis memiliki ketertarikan untuk mengadakan penelitian yang berjudul “Kajian Etnomusikologi Geundrang Aceh”.
1.1    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Bagaimanakah proses pembuatan alat musik tradisional Geundrang Aceh dan apa yang menjadi nilai ekonomi dari Geundrang tersebut?
1.2  Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan proses pembuatan alat musik tradisional Geundrang Aceh
2. Nilai ekonomi yang terkandung dari alat musik Geundrang Aceh.
1.3 Kajian Pustaka
Dalam rangka kerja studi kepustakaan yang berkaitan dengan penulisan ini, maka sebahagian besar digunakan buku-buku yang secara saintifik dipandang relevan dan berkait dengan pokok masalah penelitian. Di antara buku-buku tersebut adalah sebagai berikut :
1.      Pemerintah Aceh Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata Aceh yang berjudul Budaya Aceh Propinsi Daerah istimewa Aceh, tahun 2009, yang didalamnya terdapat pembahasan tentang sejarah budaya Aceh dan Alat musik Rapa-i dan Geundrang. Sejarah Rapa’i dan Geundrang yang dibahas mencakup masa kesultanan Aceh, masa penjajahan Belanda,dan masa kemerdekaan yang mempengaruhi perkembangan alat musik tradisional di Aceh.
2.      Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan Daerah Istimewa Aceh yang berjudul Dampak Pengembangan Pariwisata terhadap Kehidupan Sosial di Daerah Istimewa Aceh, yang berisikan tentang budaya dan kesenian pariwisata Aceh.
3.      Majelis Ulama Propinsi Daerah Istimewa Aceh, Banda Aceh, yang berjudul “Bagaimana Islam Memandang Kesenian”(1972) yang berisikan tentang bagaiman agama Islam memandang kesenian dari sudut keagamaan.
4.      Mohammad Said menulis buku yang berjudul Aceh Sepanjang Abad (Jilid I) yang diterbitkan tahun 2007. Buku ini berisikan tentang sejarah rakyat Aceh sepanjang abad dan perjuangan Rakyat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Aceh. Pendekatan yang dilakukan Mohammad Said adalah pendekatan sejarah.
5.      Mohammad Said menulis buku yang berjudul Aceh Sepanjang Abad (Jilid II), buku ini berisikan tentang sejarah rakyat Aceh sepanjang abad dan perjuangan rakyat Aceh dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat Aceh, diterbitkan tahun 2007.
6.      Ali Hasymy menulis buku yang bertajuk Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Benua di Jakarta tahun 1983. Adapun isi buku ini secara umum adalah uraian mengenai kebudayaan Aceh, filsafat-filsafatnya, dan sejarah perkembangan kebudayaan Aceh.

Sejarah Singkat Geundrang
            Menurut Idris ( 1993:62 ) “Geundrang telah ada sejak zaman Hindu, yang dibawa oleh pedagang Islam dari Gujarat akhir abad ke XI. Bila dikaji asal-usul yang pertama, ialah lewat catatan prasejarah, berasal dari zaman Neolitikum. Marsha Tambunan ( 2004:21 ) mengemukakan pendapatnya, yaitu “Gendang atau drum bingkai tiba di daerah pesisir Timur Mesir pada sekitar 1550 SM”. Sedangkan menurut Depdikbud tentang serangkaian alat Geundrang menyatakan “pada tahun 3000 SM telah ada dari Mesopotamia (Lembah Ur). Kemudian pada relief patung di India alat menyerupai Geundrang Aceh telah ada pada masa 2000 tahun yang lalu.
E.   LANDASAN TEORI
1.  Teori Fungsionalisme
Untuk mengkaji fungsi sosio budaya Geundrang dalam kebudayaan masyarakat Aceh , khususnya di kawasan penelitian, maka penulis menggunakan teori fungsionalisme. Teori fungsionalisme adalah salah satu teori yang dipergunakan dalam ilmu sosial, yang menekankan pada saling ketergantungan antara institusi-institusi (pranata-pranata) dan kebiasaan-kebiasaan pada masyarakat tertentu. Analisis fungsi menjelaskan bagaimana susunan sosial didukung oleh fungsi-institusi-institusi seperti: negara, agama, keluarga, aliran, dan pasar terwujud.

Teori fungsionalisme dalam ilmu Antropologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski (1884-1942). Ia lahir di Cracow, Polandia, sebagai putera keluarga bangsawan Polandia. Ayahnya adalah gurubesar dalam Ilmu Sastra Slavik. Jadi tidak mengherankan apabila Malinowski memproleh pendidikan yang kelak memberikannnya suatu karier akademik juga. Tahun1908 ia lulus Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dri Universitas Cracow. Yang menarik, selama studinya ia gemar membaca buku mengenai folkor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Ia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman (Koentjaraningrat, 1987:160).
Ia kemudian mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsionalisme kebudayaan, atau a functional theory of culture. Ia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ia menjadi guru besar Antropologi di University Yale tahun 1942. Sayang tahun itu ia juga meninggal dunia. Buku mengenai fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya H. Crains dan menerbitkannya dua tahun selepas itu (Malinowski 1944).
Bagi Malinowski (T.O. Ihromi 2006), mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang beranggapan atau berasumsi bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat di mana unsur itu terdapat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan mempertahankan bahwa setiap pola kelakuan yang sudah menjadi kebiasaan, setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam suatu masyarakat, memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan yang bersangkutan. Menurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa kebutuhan dasar atau beberapa kebutuhan yang timbul dari kebutuhan dasar yaitu kebutuhan sekunder dari para warga suatu masyarakat.
Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode geografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisannya ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobriand selanjutnya, menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia, dan pranata-pranata sosial menjadi mantap juga. Dalam hal itu ia membedakan antara fungsi sosial dalam tiga tongkat abstraksi (Koentjaraningrat, 1987:167), yaitu:
1.         Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap adat, tingkah laku manusia dan pranata sosial yang lain dalam masyarakat;
2.         Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan suatu adat atau pranata lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang bersangkutan;
3.         Fungsi sosial dari suatu adat, pranata sosial atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau efeknya, terhadap kebutuhan mutlak untuk berlangsungnya secara integrasi dari suatu sistem sosial yang tertentu.
Contohnya unsur kebudayaan yang memenuhi kebutuhan akan makanan menimbulkan kebutuhuan sekunder yaitu kebutuhan untuk kerja sama dalam pengumpulan makanan atau untuk produksi; untuk ini masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang manjamin kelangsungan kewajiban kerja sama tersebut di atas. Jadi menurut pandangan Malinowski tentang kebudayaan, bahwa semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi kebutuhan dasar para warga masyarakat.
Seperti Malinowski, Arthur Reginald Radcliffe-Brown (1881-1955), seorang ahli lain dalam antropologi sosial berdasarkan teorinya mengenai prilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Tetapi berlainan dengan Malinowski, radcliffe-Brown (Ihromi, 2006), mengatakan, bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan kebutuhan individual, tapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial dari suatu masyarakat adalah seluruh jaringan dari hubungan-hubungan sosial yang ada. Radcliffe-Brown (Koentjaraningrat, 1987:175) hanya membuat deskripsi mengenai organisasi sosial secara umum, tidak mendetail, dan agak banyak membuat bahan mengenai upacara keagamaan, keyakinan keagamaan, dan mitologi. Dalam mendekripsi etnografi The Andaman Islander, itu merupakan contoh lain dari suatu deskripsi terintegrasi secara fungsional, di mana berbagai upacara agama dikaitkan dengan mitologi atau dongeng-dongeng suci yang bersangkutan, dan di mana pengaruh dan efeknya terhadap struktur hubungan antara warga dalam suatu komunitas desa Andaman yang kecil, menjadi tampak jelas.
Metodologi deskripsi tersebut dengan sengaja dan sadar dipergunakannya, dan dapat dirumuskan mengenai upacara (Koentjaraningrat, 1987), sebagai berikut:
1.         Agar suatu masyarakat dapat hidup langsung, maka harus ada suatu sentimen dalam jiwa para warganya yang merangsang mereka untuk berprilaku sosial dengan kebutuhan masyarakat;
2.       Tiap unsur dalam sistem sosial dan tiap gejala atau benda yang dengan demikian mempunyai efek pada solidaritas masyarakat, menjadi pokok orientasi dari sentimen tersebut;
3.       Sentimen itu dalam pikiran individu dalam pikiran individu warga masyarakat sebagai akibat pengaruh hidup masyarakat;
4.       Adat-istiadat upacara adalah wahana dengan apa sentimen-sentimen itu dapat diekspresikan secara kolektif dan berulang-ulang pada saat-saat tertentu;
5.       Ekspresi kolektif dari sentimen memelihara intensitas-intensitas itu dalam jiwa warga masyarakat, dan bertujuan meneruskannya kepada warga-warga dalam generasi berikutnya (1922:233-234).


2.   Alat Musik Tradisional Aceh
Menurut Depdikbud ( 2010:43 ) “Alat musik tradisional Aceh pada umumnya tumbuh dan berkembang dikalangan masyarakat pedesaan dan menjadi salah satu kebanggaan masyarakat yang memilikinya”. Hal ini disebabkan karena masih kuatnya ikatan struktur sosial dikalangan masyarakat atau belum terkontaminasi oleh budaya-budaya asing yang datang dari luar.
Sementara itu Isjkarim ( 2001:69 ) menyatakan bahwa “Instrumen musik tradisional Aceh tidak terlepas dari nilai-nilai kesenian yang Islami sebab instrumen musik tradisional Aceh sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai yang Islami”. Sebagai bagian dari masyarakat Aceh, kita harus mengetahui sejarah termasuk alat-alat musik yang ada di Aceh, yang telah ada sejak zaman dahulu, Kerajaan Aceh Darussalam hingga zaman Provinsi Aceh sekarang.
Harapannya ke depan adalah hadirnya generasi baru yang paham dan mengetahui segala sesuatu tentang Geundrang, serta dapat lebih mengembangkan dan tetap mempertahankan keaslian yang berkaitan dengan alat musik tradisional Geundrang.
3.  Teknik Pembuatan Alat Musik Membranofon
Konsep dan teori yang dibutuhkan dalam membicarakan permasalahan terhadap struktur bentuk alat musik yaitu ilmu organologi yang dikemukakan oleh Mantle Hood ( 1982:15 ) “bahwa organologi yang digunakan adalah berhubungan dengan alat musik. Istilah tersebut mempunyai tendensi untuk dijadikan batasan dalam mendeskripsikan penampilan fisik, properti akustik, dan sejarah alat musik”. Selanjutnya menurut Hood juga organologi adalah ilmu pengetahuan alat musik yang tidak hanya meliputi sejarah dan deskripsi alat musik, akan tetapi sama pentingnya dengan ilmu pengetahuan dari alat musik itu sendiri antara lain :fungsi musical dan variasi dari sosial budaya. Dari konsep tersebut, dapat disimpulkan bahwa organologis Geundrang Aceh adalah penelitian secara mendalam mengenai sejarah dan deskripsi instrument, juga mengenai teknik-teknik pembuatan, cara memainkan dan fungsi dari alat musik Geundrang tersebut.
Ada lagi sebuah teori yaitu “istilah membranophone (membranofon) adalah klasifikasi alat musik yang ditinjau berdasarkan sumber bunyi yaitu berasal dari membrane atau kulit hewan”. Klasifikasi ini dicetuskan oleh Curt Sach ( 1961 ).
Istilah proses dalam Kamus Bahasa Indonesia Hidayat.A. ( 2001:899 ) adalah “rangkaian tindakan pembuatan atau pengolahan yang menghasilkan produk, sedangkan pembuatan adalah menjadikan sesuatu dan menciptakan sesuatu”. Sedangkan alat musik itu sendiri adalah benda yang dipakai untuk menghasilkan bunyi-bunyian. Proses pembuatan alat musik dapat disimpulkan sebagai tindakan atau kegiatan yang tersusun untuk menghasilkan/menciptakan suatu alat yang dapat mengeluarkan bunyi-bunyian. Sedangkan proses menghasilkan atau menciptakan alat musik membutuhkan kecermatan serta keuletan dimulai dari pemilihan bahan sampai pengerjaan akhir atau finishing.
Dalam tulisan ini, penulis membahas tentang pendeskripsian alat musik Geundrang Aceh yaitu dengan dua pendekatan yang akan diterapkan untuk membahas alat musik, yaitu pendekatan struktural dan pendekatan fungsional. Secara struktural yaitu : aspek fisik instrument musik, pengamatan, mengukur, merekam, serta menggambar bentuk instrument, ukurannya, konstruksinya, dan bahan baku yang dipakai. Secara fungsional yaitu : fungsi instrument sebagai alat untuk menghasilkan atau memproduksi suara, meneliti, melakukan pengukuran dan mencoba memainkan instrument.
4.   Kesenian Tradisional Aceh
Kebudayaan dapat mengatur masyarakat, tanpa masyarakat kebudayaan tidak pernah ada. Menurut Soedarso ( 2006:67 ) “Seni atau kesenian tradisional meliputi penciptaan dari segala macam kegiatan rohani manusia dalam suatu karya yang berkat bentuk dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang yang di wariskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan merupakan proses komunikasi melalui interaksi secara langsung atau tidak langsung sesama masyarakat”.
Menurut Piet Rusdi ( 2007:2 ) “Musik terdapat dalam setiap kebudayaan. Musik pada awalnya juga dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan sakral dan upacara-upacara yang berhubungan dengan kepercayaan dan adat. Musik dipergunakan sebagai sarana untuk membangkitkan semangat, menyemarakkan suasanan, mengiringi gerak tari dan sebagai media kesurupan ( trance )”.
Walaupun musik tradisional masih tetap dipelihara, dikembangkan serta dipergelarkan oleh pencinta dan pendukungnya sampai saat ini, namun tidak mungkin akibat penetralisir unsur-unsur luar/kebudayaan luar, nilai-nilai budaya Aceh akan menjadi suram ataupun mungkin menjauh/menghilang didalam masyarakat. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis mencoba mencatat ulang kembali serta memperkenalkan alat-alat musik tradisional Aceh yang masih bertahan maupun yang hampir punah untuk dikembangkan kembali serta diperkenalkan kepada generasi muda karena ini merupakan warisan yang harus tetap dijaga dan dipelihara keberadaannya. 

5.   Fungsi Geundrang Sebagai Alat Musik Tradisional Aceh
.Geundrang adalah perangkat alat musik tradisional Aceh yang mendukung suara melodi Serune Kalee sebagai alat musik ritmik. Tingkahan-tingkahan (pola rhythm) dapat menghidupkan suasana ketika di tampilkan, memberi semangat serta ciri khas, karena tanpa ada Geundrang alunan melodi Serune Kalee menjadi kurang keagungannya. Dapat ditarik kesimpulan, bahwa disetiap munculnya permainan Serune Kalee biasanya pasti diikuti munculnya Geundrang serta Rapa-i menjadi pelengkapnya. Para pemain musik dalam setiap penampilan memakai pakaian adat Aceh. Geundrang juga sebagai alat pelengkap Serune Kalee dalam upacara antar pengantin di dalam adat Aceh. Dengan demikian uraian penyebaran Geundrang sejalan dengan yang terdapat pada Serune Kalee.
Menurut Depdikbud ( 1993:61 ) “Secara tradisional Geundrang Aceh berfungsi sebagai pelengkap dari musik Serune Kalee, dan dapat juga sebagai alat rithmic percussion, di dalam orchestra bila diperlukan membawakan lagu daerah atau musik kreasi baru”.

F.   METODELOGI  PENELITIAN
1.   Pendekatan Dan Jenis Penelitian
            Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif, yaitu uatu cara yang memungkinkan untuk mengetahui keadaan atau kondisi yang sedang terjadi saat ini. Dengan data-data verbal berupa kata-kata, hal ini sesuai dengan penjelasan Sugiono ( 2009:27 ) “ Metode penelitian kualitatif adalah metode untuk menyelidiki objek yang tidak dapat diukur dengan angka-angka ataupun ukuran lain yang bersifat eksak”. Penelitian kualitatif juga bisa diartikan sebagai riset yang bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif.
Metode deskriptif yaitu metode yang digunakan untuk mencari unsur-unsur, ciri-ciri, sifat-sifat suatu fenomena. Metode ini dimulai dengan pengumpulan data, menganalisis data dan menginterprestasikannya. Menurut penjelasan Suryana ( 2010:20 ) “Metode deskriptif dalam pelaksanaannya dilakukan melalui teknik survey, studi kasus, studi koperatif, studi tentang waktu dan gerak, analisis tingkah laku, dan analisis dokumenter”.
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yang berguna untuk menjelaskan, menganalisis dan memaknai segala informasi yang terkait dengan data primer dan sekunder dalam menjawab rumusan masalah. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Margono ( 2005:36 ) bahwa : “Pendekatan penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yaitu berupa kata-kata tertulis atau perkataan lisan dari orang-orang dan prilaku yang diamati”.

2.   Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini akan dilakukan di Desa Kayee Lheu, Perumahan Kuwait No.44, Kelurahan Ingin Jaya Banda Aceh. Dasar pemilihan lokasi tersebut adalah karena merupakan tempat pengrajin Geundrang yang hasil produksidan mutu produksinya memiliki kualitas baik serta memenuhi standar.
3.   Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara, dan dokumentasi sebagai berikut :
1.      Observasi
Observasi dalam penelitian ini menggunakan teknik non partisipan yang merupakan suatu kegiatan penelitian dimana peneliti hanya sebagai pengamat dalam proses pembuatan Geundrang dari awal sampai akhir. Peneliti menggunakan kamera dan  handycam untuk mngumpulkan data observasi.
2.      Wawancara
Ciri-ciri utama dalam teknik wawancara ini adalah kontak langsung atau bertatap muka antara pengkaji dan sumber informasi. Kemudian hasil wawancara dari nara sumber dicatat dan dijadikan sebagai bahan dalam melakukan penelitian. Dalam penelitian ini penulis menggunakan pedoman wawancara yang dilakukan untuk memperolah data yang menyangkut tentang alat musik Geundrang tersebut. Penulis juga memakai tape recorder sebagai instrumen dalam penelitian sebagai alat merekam suara.
3.      Dokumentasi 
Teknik dokumentasi digunakan untuk mencari atau melihat sumber informasi yang ada kaitannya dengan penelitian, yang berupa dokumen photo dan video dalam pengamatan alat musik Geundrang sebagai alat musiktradisional di Aceh. Sugiono ( 2009:239 ) mengemukakan bahwa, “Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu, dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang”.
4.   Teknik Analisis Data
Pengolahan data penelitian pada dasarnya dilakukan secara bersama-sama, terutama untuk data-data primer yang di dapatkan dari hasil wawancara dan observasi. Pengkajian dalam penelitian ini adalah dianalisis melalui interprestasi, yang artinya bahwa peneliti melakukan penafsiran atau “pemaknaan” data dan fakta yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. Untuk analisis data tidak diperlukan model uji statistik dengan memakai rumus-rumus tertentu, melainkan lebih ditujukan sebagai tipe deskriptif, studi tentang Geundrang Aceh yang menyangkut permasalahan deskripsi instrumen musik tersebut.
5.   Sumber Data
Sumber data penelitian ini adalah :
1.        Fajar Siddiq, pengrajin Geundrang di Desa Kayee Lheu, Perumahan Kuwait No. 44, Kelurahan Ingin Jaya, Aceh Besar.
2.        Jamal Abdullah, seniman dan tokoh yang mengetahui tentang alat musik tradisional Aceh khususnya Geundrang.
Semua subjek yang dipilih menjadi narasumber dikarenakan di anggap mengetahui dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan teknik dan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan Geundrang.
G.  Manfaat Penelitian
  1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bersifat informasi dan pemikiran agar dapat di ambil langkah-langkah agar terwujud upaya pelestarian alat musik tradisional Geundrang secara menyeluruh, menambah pengetahuan bagi peneliti secara teoritis maupun secara praktis tentang deskripsi alat musik tradisional Geundrang di Aceh, serta bisa menjadi bahan referensi bagi mahasiswa-mahasiswi ISBI Aceh yang berkeinginan meneliti lebih lanjut.
  1. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini dapat menjadi bahan masukan untuk pembaca khususnya masyarakat Aceh agar dapat mengetahui tentang deskripsi alat musik tradisional Geundrang Aceh dan juga dapat menjadi bahan masukan bagi pemerintah dalam menentukan kebijakan yang berkaitan dengan budaya daerah, serta menambah referensi bagi lembaga-lembaga pendidikan (sekolah)  sehingga dapat digunakan oleh guru kesenian sebagai bahan pembelajaran di sekolah.


BAB II
DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

Lokasi
Penulis memilih lokasi penelitian yang mudah dijangkau dengan berkendaraan di salah satu pengrajin yang dianggap hasil produksi Geundrang yang kualitasnya cukup bagus yaitu di Desa Kayee Lheu, Perumahan Kuwait No. 44, Kelurahan Ingin Jaya, Aceh Besar.
                Image result for peta desa kayee lhee, kelurahan Ingin Jaya




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Makalah Kritik Seni Lagu Iwan Fals