Contoh Kritik Seni
Contoh Bentuk Kritik Seni Lukisan
Berdasarkan titik tolak
atau landasan yang digunakan, dikenal beberapa bentuk kritik sebagai berikut :
1.
Kritik Formalistik
Kajian kritik ditujukan
terhadap konfigurasi aspek-aspek formalnya atau berkaitan dengan unsur-unsur pembentukannya.
Pada lukisan, maka sasaran kritik lebih tertuju kepada kualitas penyusunan
(komposisi) unsur-unsur visual seperti warna, garis, tekstur, dan
sebagainya yang terdapat dalam karya tersebut. Kritik formalistik berkaitan
juga dengan kualitas teknik dan bahan yang digunakan dalam berkarya seni.
2.
Kritik Ekspresivistik
Dalam kritik ini,
kritikus cenderung menilai dan menanggapi kualitas gagasan dan perasaan
yang ingin dikomunikasikan oleh seniman melalui sebuah karya seni. Kegiatan
kritik ini umumnya menanggapi kesesuaian atau keterkaitan antara judul, tema,
isi dan visualisasi objek-objek yang ditampilkan dalam sebuah karya.
3.
Kritik Instrumentalistik
Dalam kritik ini, karya seni cenderung
dikritisi berdasarkan kemampuananya dalam upaya mencapai tujuan, moral,
religius, politik atau psikologi. Pendekatan kritik initidak mempersoalkan
kualitas formal dari sebuah karya seni tetapi lebih melihat aspek
konteksnya baik saat ini maupun masa lalu.
Pendekatan
Instrumentalistis
Teori seni instrumentalistis
menganggap seni sebagai sarana untuk memajukan dan mengembangkan tujuan moral,
agama, politik, dan berbagai tujuan psikologis dalam kesenian. Seni dipandang sebagai
instrumen untuk mencapai tujuan tertentu, nilai seni terletak pada manfaat dan
kegunaannya bagi masyarakat. Para
kritikus instrumentalis berpendapat bahwa kreasi artistik tidak terletak pada
kemampuan seniman untuk mengelola material seni atau pun pada masalah internal
karya seni.
Kritik Instrumentalistik, yaitu jenis kritik seni yang
cenderung menilai karya seni berdasarkan kemampuannya mencapai tujuan moral,
religius, politik atau psikologi. Dalam prakteknya, penggunaan jenis
kritik Instrumentalistik ini disesuaikan dengan jenis dan tujuan
pembuatan karya seni rupanya.
Lukisan
berjudul ”Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh misalnya,
dikritisi tidak saja berdasarkan kualitas teknis (formal) nya saja tetapi keterkaitan
antara objek, isi, tema dan tujuan serta pesan moral yang ingin disampaikan
pelukisnya atau interpretasi pengamatnya terhadap konteks ketika karya tersebut
dihadirkan.
Memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71, istana negara
membuka pameran lukisan koleksi istana untuk umum mulai 1 Agustus lalu. Dari 28
lukisan yang ditampilkan, ada satu lukisan legendaris karya maestro pelukis
Indonesia yang menurut kurator menjadi lukisan paling tak ternilai dan luar
biasa, yakni “Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh. Lukisan yang dibuat pada tahun 1857 ini menjadi sangat legendaris lantaran
lukisan tersebut benar-benar mampu menggugah emosi setiap orang yang
melihatnya. Ada ketegangan yang dapat dirasakan dari lukisan tersebut.
Lukisan tersebut menggambarkan peristiwa pengkhianatan Belanda kepada
Pangeran Diponegoro yan mengakhiri perang Jawa pada 1830. Kala itu, Belanda
berdalih mengundang Pangeran Diponegoro ke Magelang untuk membicarakan
kemungkinan gencatan senjata, namun pada kenyataannya sesampainya Pangeran
Diponegoro di Magelang, ia pun ditangkap.
Mahakarya yang harganya mencapai Rp100 Milyar ini memiliki cerita menarik
di balik pembuatannya. Jadi, pada mulanya lukisan ini dibuat oleh pelukis
Belanda Nicolas Pieneman dan dikomisikan oleh Jendral de Kock. Lukisan tersebut
diberi judul "Penyerahan Pangeran Diponegoro". Namun, ketika Raden
Saleh melihat lukisan tersebut, ia seakan tidak setuju dengan gambaran
Pieneman, kemudian Saleh pun membuat lukisan versinya sendiri. Bila ditelisik dengan
teliti, lukisan versi Pieneman menggambaran peristiwa tersebut dari sudut
pandang sebelah kanan, sementara lukisan milik Saleh digambarkan dari sudut
sebelah kiri.
Salah satu bagian yang menjadi petunjuk bahwa Saleh mengecam pengkhianatan
yang dilakukan oleh pihak Belanda adalah ekspresi wajah Pangeran Diponegoro di
hadapan para koloni Belanda. Lukisan Saleh menunjukkan raut wajah tegas dan
menahan amarah pada Pangeran Diponegoro, sementara versi Pieneman menggambarkan
raut wajah Pangeran Diponegoro yang lesu dan pasrah.
Lukisan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” karya Raden Saleh ini dianggap
sebagai salah satu bentuk nasionalisme pada diri Raden Saleh. Ia amat mengecam
apa yang telah dilakukan oleh pihak Belanda, bahkan Raden Saleh sengaja
menggambar tokoh Belanda di lukisannya dengan kepala yang sedikit besar agar
tampak lebih mengerikan.
Menurut salah satu kurator lukisan Mikke Susanto, ada banyak kode yang
terdapat dalam lukisan Raden Saleh tersebut. Kode-kode tersebut di antaranya
adalah gambar beberapa sosok masyarakat yang berwajah sama sedang menyaksikan
penangkapan Pangeran Diponegoro dengan menunjukkan kumis dan blangkon di kepala
mereka. Menurut Mikke, wajah-wajah itu tak lain adalah wajah Raden Saleh
sendiri sebagai simbol bahwa Raden Saleh adalah pendukung Pangeran Diponegoro.
Selain itu, Raden Saleh juga dikenal gemar melukis detail. Mengenai detail
pada lukisan ini, Raden Saleh melukis cincin batu akik salah satu pengikut
Pangeran Diponegoro. Bukan hanya itu, dia juga detail melukis motif-motif
bordir pada pakaian yang dikenakan pengikut maupun jenderal-jenderal Belanda.
Meski lukisan ini terinspirasi dari lukisan yang mirip, namun nyatanya
lukisan Raden Saleh dianggap lebih akurat dalam menggambarkan peristiwa antara
Pangeran Diponegoro dengan pihak Belanda tersebut. Hal ini karena Pieneman
sendiri tidak pernah ke Hindia Belanda sehingga ia menggambarkan pengikur
Diponegoro seperti orang Arab, bukan pribumi. Usai dilukis pada 1857, lukisan
ini dipersembahkan kepada Raja Willem III di Den Haag. Lukisan ini menjadi
lukisan tertua dalam pameran lukisan koleksi Istana Negara.
berikut lukisan yang jadi bahan kritik
lukisan Van Pienneman (1835 )
lukisan Raden Saleh ( 1857 )
Tugas Kritik Seni Deddy Mulia
Komentar
Posting Komentar